(sumber: www.gki.or.id)
Pengantar dan Latar-Belakang
Pada hari ini kita merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Kerinduan Hidup Bersama Dengan Rukun
Walau umat
a. Sebagai “pengharum”: persaudaraan yang rukun tentu akan mengharumkan identitas diri mereka sebagai umat Allah. Karena itu kitab Pengkhotbah berkata: “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran”. Umat
b. Sebagai media “pengobatan”: persaudaraan yang rukun tentu dapat mengobati berbagai penghalang dan luka-luka yang pernah mereka alami. Pada zaman dahulu minyak dipakai untuk mengoles orang-orang yang sakit (bandingkan Mark. 6:13; Yak. 5:14). Dalam kehidupan masa kini simbolisasi minyak tersebut juga dapat diterapkan dalam pengertian rohaniah, yaitu dioleskan untuk menyembuhkan luka-luka batin yang meretakkan hubungan di antara sesama.
c. Sebagai media “penobatan” (pelantikan) seseorang dalam identitas yang baru: minyak dipakai untuk mengurapi seseorang sehingga dia diteguhkan untuk melaksanakan panggilan Tuhan secara khusus (I Sam. 10:1). Karena itu minyak juga dipakai sebagai simbol pengurapan Roh Kudus (Ibr. 1:9). Persaudaraan yang rukun akan terwujud ketika kita sebagai umat membuka diri untuk dikuduskan dan dimurnikan oleh Roh Kudus sehingga kita dimampukan untuk melaksanakan karya Tuhan yang mendamaikan.
Belajar dari Sikap Yusuf
Selain itu pemazmur menempatkan harapan akan persaudaraan yang rukun seperti embun yang turun dari gunung. Embun di pagi hari selain mampu menyejukkan udara, juga dapat memberi kesuburan dan kesegaran bagi tanaman. Karena itu tanaman di sekitar pegunungan umumnya tumbuh dengan sehat. Demikian pula persaudaraan yang rukun seharusnya ditandai oleh suasana hidup yang saling menyegarkan dan memberi pertumbuhan. Mereka akan selalu mampu mengatasi setiap kesalahpahaman, perbedaan-perbedaan dan permasalahan yang muncul. Sehingga suasana komunikasi yang terjalin senantiasa konstruktif, saling menumbuhkan dan menghormati. Mereka akan lebih mengedepankan kesetaraan hidup bersama dari pada sikap saling menguasai dan menundukkan. Mereka juga akan lebih mengedepankan kesediaan mengampuni dari pada sikap membalas dendam dan keinginan membunuh lawan. Sikap pengampunan dan kasih inilah yang diperlihatkan oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya. Dari sudut manusiawi, tindakan dari saudara-saudara Yusuf sebenarnya sangat sulit dimaafkan. Mereka sebelumnya telah menganiaya, membuang Yusuf ke sumur dan menjual dia sebagai seorang budak. Seandainya kita pernah diperlakukan secara kejam oleh anggota keluarga, umumnya kita sangat sulit untuk memaafkan mereka. Luka-luka batin kita tersebut tidak akan sembuh secara otomatis oleh perjalanan waktu. Perasaan benci dan marah tetap tersemai dengan subur walaupun mereka telah menunjukkan perubahan (pembaharuan) hidup yang signifikan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sikap Yusuf. Walaupun saat itu dia telah menjadi tangan kanan dari Firaun, ternyata Yusuf tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk menghukum dan membalas kepada saudara-saudaranya yang telah berbuat jahat. Justru sebaliknya saat dia mengetahui saudara-saudaranya datang untuk membeli makanan di Mesir, Yusuf segera memberi pertolongan dan perlakuan khusus. Karena perasaan rindu yang begitu besar, Yusuf meminta agar dia dapat berbicara secara pribadi dengan saudara-saudaranya. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana saudara-saudara Yusuf yang sangat terkejut, ketika Yusuf akhirnya memperkenalkan dirinya. Namun yang pasti saudara-saudara Yusuf waktu itu sempat ketakutan ketika mengetahui bahwa penguasa yang berbicara kepada mereka ternyata adalah Yusuf (Kej. 45:3). Tetapi Yusuf berkata: “Marilah dekat-dekat”. Maka mendekatlah mereka (Kej. 45:4). Ungkapan “marilah dekat-dekat” berasal dari istilah: naw-gash' yang berarti: mengajak seseorang untuk mendekat secara intim seperti hubungan seorang pria dengan seorang wanita. Yusuf bukan hanya tidak mau membalas dendam atas perbuatan jahat dari para saudaranya; tetapi dia justru memperlihatkan kasih yang sangat personal dan memberi mereka penghiburan dengan perspektif teologis yaitu bahwa tindakan mereka menjual dia di masa lampau pada hakikatnya untuk melaksanakan rencana Allah yang menyelamatkan. Di Kej. 45:5 Yusuf berkata: “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu”. Perkataan Yusuf yang penuh dengan pengampunan seperti embun yang menyejukkan dan juga seperti minyak yang menyembuhkan hati saudara-saudaranya.
Kualitas Diri Dalam Rajutan Ilahi
Sikap pengampunan dari Yusuf tersebut menunjukkan suatu kualitas pribadi yang telah dikuduskan oleh Allah. Peristiwa pahit dan penderitaan yang pernah dialami tidak membuat Yusuf terpuruk dalam kemarahan, kebencian dan dendam. Sebaliknya pengalaman yang pahit dan penuh penderitaan dihayati oleh Yusuf sebagai bagian dari proses pembentukan karakter dan rencana Allah dalam kehidupannya. Penderitaannya dihayati oleh Yusuf seperti minyak urapan yang memurnikan dan menguduskan dirinya. Sehingga Yusuf makin dimampukan oleh Tuhan untuk melihat seluruh perjalanan hidupnya sebagai suatu rajutan ilahi untuk menyelamatkan sesama dan keluarganya yang menderita. Di Kej. 45:7-8, Yusuf berkata: “Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar dari padamu tertolong. Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir”. Rajutan ilahi tersebut yang memampukan Yusuf untuk memiliki kebijaksanaan dan kekayaan pengampunan kepada setiap orang yang pernah berlaku jahat kepadanya. Bukankah seharusnya bangsa kita memiliki kualitas diri seperti Yusuf? Kebesaran bangsa kita bukan ditentukan oleh jumlah penduduk, jumlah mayoritas pemeluk suatu agama atau kelompok mayoritas yang berkuasa; tetapi lebih ditentukan oleh kebesaran hati yang dilandasi oleh kasih dan pengampunan. Namun sayangnya kita sering mendorong sesama dan bangsa ini untuk mengingat luka-luka lama. Kita sering terjebak dalam pemberian cap dan “stigma” kepada seseorang atau kelompok; sehingga kita tidak mampu bersikap obyektif dan adil. Sehingga apabila seseorang atau suatu kelompok pernah melakukan kesalahan di masa lampau, maka mereka kemudian divonis seumur hidup sebagai pembuat masalah (trouble-maker). Bahkan kalau perlu seluruh keturunan dan keluarga dikaitkan dengan kesalahan seseorang. Pemerintah Orde Baru dahulu berulangkali dalam pernyataan politis menegaskan bahwa anggota keluarga yang terlibat dalam Partai Komunis
Karena itu Tuhan Yesus mengingatkan bahwa hati manusia dapat menjadi sumber dari hal-hal yang najis. Di Mat. 15:18, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat”. Ketika hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan, maka hati kita akan menjadi sumber dosa yang menyebar melalui ucapan atau perkataan. Yang mana ucapan dan tindakan yang lahir dari hati yang najis senantiasa dapat mematikan orang lain. Karena itu kualitas diri tidak akan terwujud hanya dengan berbagai pelatihan etika dan pembinaan moral apabila hati kita belum dikuduskan oleh Tuhan. Kualitas diri juga tidak akan tercapai ketika kita hanya memperhatikan soal-soal makanan yang haram dan halal. Sebab makanan tersebut tidak akan membaharui inti dari spiritualitas kita. Karakter bangsa kita tidak akan diperbaharui oleh ketaatan mereka terhadap jenis makanan yang halal dan menolak makanan yang dianggap haram. Tetapi kualitas diri akan terwujud dalam kehidupan kita ketika kita bersedia dirajut dan “dioperasi” oleh Allah melalui berbagai pengalaman yang pahit dan getir. Sebab berbagai pengalaman yang pahit dan getir tersebut tidak lagi dilihat dari sudut manusiawi kita, tetapi kita melihatnya dari perspektif yang baru secara teologis, yaitu Allah berkenan membentuk dan memproses kita untuk menjadi alatNya yang kudus. Perspektif teologis inilah yang memampukan kita untuk membuang berbagai perasaan dendam dan sakit hati terhadap setiap orang yang memusuhi dan menganiaya kita. Sehingga kita dimampukan untuk hidup rukun dengan setiap orang, bahkan rekonsiliasi (berdamai) dengan para lawan kita.
Rekonsiliasi yang Transformatif
Abraham dan Lot pernah berpisah, tetapi Abraham tetap peduli dan membantu